RT
/ RW
Rukun
Tanggane Rukun Wargane,
Judul diatas
memang mirip acara sebuah kuis disalah satu Stasiun TV swasta yang bermarkas di
Surabaya. Namun kita tidak akan mengupas kuis tersebut tetapi akan kita kaji
bagaimana sebenarnya eksistensi lembaga RT/RW itu dalam masyarakat. Secara historis,
kelahiran lembaga Rukun Tetangga atau yang disingkat RT dan Rukun Warga atau
yang disingkat dengan RW dibidani oleh pemerintah melalui Permendagri nomor 7
tahun 1983 yang mengatur tentang Pembentukan Rukun Warga dan Rukun Tetangga.
Kemudian Perrmendagri ini ditindaklanjuti oleh Instruksi gubenur Jawa Timur
tertanggal 19 Agustus 1986 dan diperinci lagi oleh Perda Nomor 7 tahun 1987 oleh
Kabupaten Ponorogo. Meskipun diukarani sebagai sebuah lembaga
kemasyarakatan, RT/RW pada hakekatnya dilahirkan untuk membantu berbagai
pelaksanaan kegiatan pemerintah.
Bahkan pekerjaan
mereka dilapangan jauh lebih kompleks dari apa yang dapat disebut didalam aturan
yang melahirkannya. Selain sebagai bentuk rentang kontrol pemerintah ditingkat
grass root, RT/RW juga menjalankan fungsi-fungsi Social Development dan
pembinaan kamtibmas, sebut saja seperti layanan administrasi melalui "Surat
Pengantar RT/RW" yang sangat membantu bagi pemerintah khususnya dalam
deteksi dini dan memproteksi terhadap potensi kesalahan identifikasi
terhadap status kependudukan warga yang dilayani. Kemudian pengadaan forum
"Pertemuan Rutin RT/RW" yang jelas-jelas sangat membantu bagi
pemerintah khususnya untuk sosialisasi berbagai program pemerintah. Belum lagi
berbagai kegiatan yang mereka laksanakan terkait dengan pembinaan kehidupan
sosial seperti pengadaan kegiatan Poskamling, pengadaan Dana Sosial dan
Kematian hingga penggalian potensi swadaya masyarakat guna menunjuang kegiatan
pembangunan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Sungguh sebuah beban tugas
yang tidak ringan, bahkan tidak jarang Ketua/Pengurus RT/RW harus mengorbankan
waktu mereka untuk menangani berbagai "keadaan tertentu" terkait
dengan gangguan stabilitas baik dalam arti sosial maupun keamanan. Belum cukup
sampai disini "pak RT/RW" harus memiliki mental ekstra kuat
khususnya atas kebijakan yang diambilnya yang tentu saja tidak akan pernah
memuaskan semua pihak dengan berbagai kepentingan yang berbeda-beda.
Namun sayang
pengorbanan yang besar ini tidak mendapatkan "perhatian" yang sepadan
dari pemerintah atas nasib mereka. Selama ini pekerjaan menjadi pengurus RT/RW
memang sebuah pekerjaan sosial (Social Job), pekerjaan pengabdian yang
kita tidak bisa
mengharapkan sesuatu pamrih darinya. Oleh karena itu saat masa
jabatan Ketua RT/RW berakhir sudah menjadi kondisi yang umum dan menggejala di
banyak daerah tentang "sulitnya mencari pengganti" bukan karena tidak
adanya kader yang memenuhi syarat tetapi lebih dikarenakan personal
yang dipandang layak oleh masyarakatnya tetapi yang bersangkutan justru
berkeberatan dengan berbagai alasan untuk mengemban tugas ini. Inilah fenomena
sosial yang patut menjadi perhatian banyak kalangan khususnya pemerintah. Karena
meskipun banyak yang memandang sebelah mata terhadap keberadaan RT/RW tetapi
sesungguhnya ia memainkan peranan yang besar dalam pembinaan kehidupan sosial
(social development).
Oleh
karena itu
sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan
Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang
Pemerintahan daerah maka segala peraturan yang membidangi ke-RT/RW-an
telah
berlaku surut. Sudah saatnya bagi pemerintah untuk segera menerbitkan
peraturan
baru yang dapat "menghidupkan" lembaga kemasyarakatan seperti RT/RW
agar sejalan dengan perkembangan dinamika sosial yang ada. Artinya kita
perlu
menyusun aturan-aturan terkait dengan masalah ke-RT/RW-an sesuai dengan
kondisi
dan kebutuhan riil masyarakat. Dari segi kelembagaan misalnya kita tidak
perlu
membentuk sebuah lembaga yang nantinya memang tidak berfungsi karena
memang
tidak diperlukan oleh masyarakat, sampai sekarang kita mengenal adanya
istilah Lingkungan
yang dikepalai oleh seorang Kepala Lingkungan, kenyataan lapangan
menjelaskan, Lingkungan / Kepala Lingkungan kurang memiliki peran yang
signifikan
dalam pembangunan kemasyarakatan di wilayahnya klecuali hanya sebagai
"penambah keterangan" guna kemudahan identifikasi lokasi/alamat dan ini
tentunya hanya akan
menjadikannya sebagai "atribut tanpa arti" yang hal ini sebenarnya
juga terjadi pada lembaga RW. Belum lagi maslah Anggaran kegiatan yang
di masa lalu tidak menjadi
perhatian. Coba kita lihat apa yang dilakukan pemerintah
sebagai pembina RT/RW sebagaimana telah diamanatkan oleha aturan yang
mereka
formulasikan sendiri ? selama ini pemerintah hanya "mengambil manfaat"
dari keberadaan RT/RW tanpa mau tahu bagaimana
keberadaan mereka. Mengingat bahwa meskipun sebagaian masyarakat
beranggapan menjadi pengurus RT/RW adalah sebuah
pengabdian tetapi toh di dalamnya
juga terdapat banyak "tugas titipan" pemerintah yang juga membutuhkan
dana
dalam pelaksanaannya. untuk itu hal lain yang perlu dikaji
adalah kemungkinan diberikannya "tanda jasa" bagi para "Social Worker"
ini dan wacana ini hendaklah tidak dipahami sebagai upaya untuk
"mengkomersialkan" jabatan pengabdian atau membenturkan konsep
"kesadaran" dalam arti partisipasi masyarakat dengan motif ekonomi
yang menuntut setiap kegiatan mampu bernilai secara ekonomis. Tetapi perlu
dipahami bahwa bentuk perhatian pemerintah ini adalah sebagai sebuah bentuk
penghargaan pemerintah atas jasa dan pengorbanan yang telah diberikan oleh warga
negaranya. Karena meskipun mereka (Pengurus RT/RW) tidak memakai seragam keki seperti rekan PNS lainnya
tetapi jasa dan pengabdian mereka tidak kalah dengan mereka yang mengabdi
di instansi-instansi "resmi" lainnya.
Akhirnya semoga
tulisan ini dapat menjadi bahan pertimbangan khususnya bagi Pemerintah Kabupaten
Ponorogo dalam memformulasikan kebijakan terkait dengan ke-RT/RW-an. dan semoga
ke depan lembaga-lembaga yang mengakar di tingkat bawah ini dapat lebih
memberdayakan dirinya dalam proses Social development.
SELAMAT BERJUANG KAWAN...LEMAH TELES.GUSTI ALLAH SING MBALES ( masrof )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar