|
TEAM FORENSIK DARI DINAS PETERNAKAN SEDANG OTOPSI SAPI |
PENYAKIT BAKTERIAL PADA RUMINANSIA
1. Penyakit Brucellosis (Keluron Menular)
Brucellosis adalah penyakit ternak menular yang secara primer
menyerang sapi, kambing, babi dan sekunder berbagai jenis ternak lainnya
serta manusia. Pada sapi penyakit ini dikenal sebagai penyakit
Kluron atau pemyakit Bang.
Sedangkan pada manusia menyebabkan demam yang bersifat undulans dan
disevut Demam Malta. Jasad renik penyebab è Micrococcus melitensis yang
selanjutnya disebut pula Brucella melitensis.
Bakteri
Brucella untuk pertama kalinya ditemukan oleh Bruce (1887) pada manusia
dan dikenal sebagai Micrococcus miletensi. Kemudian Bang dan Stribolt
(1897) mengisolasi jasad renik yang serupa dari sapi yang menderita
kluron menular. Jasad renik tersebut diberi nama Bacillus abortus bovis.
Bakteri Brucella bersifat gram negatif, berbentuk batang halus,
mempunyai ukuran 0,2 - 0,5 mikron dan lebar 0,4 - 0,8 mikron, tidak
bergerak, tidak berspora dan aerobik. Brucella merupakan parasit
intraseluler dan dapat diwarnai dengan metode Stamp atau Koster.
Brucellosis yang menimbulkan masalah pada ternak terutama disebabkan
oleh 3 spesies, yaitu
Brucella melitensis, yang menyerang pada kambing,
Brucella abortus, yang menyerang pada sapi dan
Brucella suis, yang menyerang pada babi dan sapi.
Brucella memiliki 2 macam antigen, antigen M dan antigen a. Brucella
melitensis memiliki lebih banyak antigen M dibandingkan antigen A,
sedangkan Brucella abortus dan Brucella suis sebaliknya. Daya pengebalan
akibat infeksi Brucella adalah rendah karena antibodi tidak begitu
berperan.
Kerugian ekonomi yang diakubatkan oleh
brucellosis sangat besar, walaupun mortalitasnya kecil. Pada ternak
kerugian dapat berupa:
- kluron,
- anak ternak yang dilahirkan lemah,
- kemudian mati,
- terjadi gangguan alat-alat reproduksi yang mengakibatkan kemajiran temporee atau permanen.
- Kerugian pada sapi perah berupa turunnya produksi air susu.
Brucellosis merupakan penyakit beresiko sangat tinggi, oleh karena
itu alat-alat yang telah tercemar bakteri brucella sebaiknya tak
bersentuhan langsung dengan manusia. Sebab penyakit ini dapat menular
dari ternak ke manusia dan sulit diobati, sehingga brucellosis merupakan
zoonosis yang penting. Tetapi manusia dapat
mengkonsumsi daging dari ternak-ternak yang tertular sebab tidak berbahaya apabila tindakan sanitasi minimum dipatuhi dan dagingnya dimasak. Demikian pula dengan
air susu dapat pula dikonsumsi tetapi harus dimasak atau dipasteurisasi terlebih dahulu.
Pada kambing brucellosis hanya memperlihatkan gejala yang samar-samar. Kambing kadang-kadang mengalami
keguguran dalam 4 - 6 minggu terakhir dari kebuntingan. Kambing jantan dapat memperlihatkan kebengkakan pada persendian atau testes.
Pada sapi gejala penyakit brucellosis yang dapat diamati adalah keguguran, biasanya terjadi pada
kebuntingan 5 - 8 bulan,
kadang diikuti dengan kemajiran, Cairan janin berwarna keruh pada waktu
terjadi keguguran, kelenjar air susu tidak menunjukkan gejala-gejala
klinik, walaupun di dalam air susu terdapat bakteri Brucella, tetapi hal
ini merupakan sumber penularan terhadap manusia. Pada ternak jantan
terjadi kebengkakan pada testes dan persendian lutut.
Selain
gejala utama berupa abortus dengan atau tanpa retensio secundinae
(tertahannya plasenta), pada sapi betina dapat mempperlihatkan
gejala umum berupa lesu, napsu makan menurun dan kurus. Disamping itu terdapat pengeluaran cairan bernanah dari vagina.
Pada sapi perah, brucellosis dapat menyebabkan penurunan produksi
susu. Seekor sapi betina setelah keguguran tersebut masih mungkin
bunting kembali, tetapi Tingkat kelahirannya akan rendah dan tidak
teratur. Kadang-kadang fetus yang dikandung dapat mencapai tingkatan
atau bentuk yang sempurna tetapi pedet tersebut biasanya labir mati dan
plasentanya tetap tertahan (tidak keluar) serta disertai keadaan
metritis (peradangan uterus). Brucellosis penyakit dapat menulari semua
betina yang telah dewasa kelamin dan dapat menyebabkan abortus.
Pada sapi betina bakteri Bang terdapat pada uterus, terutama pada
endometrium dan padaruang diantara kotiledon. Pada plasenta, bakteri
dapat ditemukan pada vili, ruang diantara vili dan membran plasenta yang
memperlihatkan warna gelap atau merah tua. Pada fetus, bakteri Brucella
dapat ditemukan dalam paru-paru dan dalam cairan lambung. Pada pejantan
bakteri brucella dapat ditemukan dalam epydidymis, vas deferens dan
dalam kelenjar vesicularis, prostata dan bulbourethralis. pada infeksi
berat bakteri dapat berkembang dalam testes, khususnya dalam tubuli
seminiferi.
Perubahan pasca mati yang terlihat adalah
penebalan pada plasenta dengan bercak-bercak pada permukaan lapisan
chorion. cairan janin terlihat keruh berwarna kuning coklat dan
kadang-kadang bercampur nanah. Pada ternak jantan ditemukan proses
pernanahan pada testikelnya yang dapat diikuti dengan nekrose.
Usaha-usaha pencegahan terutama ditujukan kepada vaksinasi dan
tindakan sanitasi dan tata laksana. Tindakan sanitasi yang bisa
dilakukan yaitu
- sisa-sisa abortusan yang bersifat infeksius
dihapushamakan. Fetus dan plasenta harus dibakar dan vagina apabila
mengeluarkan cairan harus diirigasi selama 1 minggu
- bahanbahan yang biasa dipakai didesinfeksi dengan desinfektan, yaitu : phenol, kresol,
- amonium kwarterner, biocid dan lisol
-
hindarkan perkawinan antara pejantan dengan betina yang mengalami
kluron. Apabila seekor ternak pejantan mengawini ternak betina tersebut,
maka penis dan preputium dicuci dengan cairan pencuci hama
-
anakanak ternak yang lahir dari induk yang menderita brucellosis
sebaiknya diberi susu dari ternak lain yang bebas brucellosis
-
kandang-kandang ternak penderita dan peralatannya harus dicuci dan
dihapushamakan serta ternak pengganti jangan segera dimasukkan.
Pengobatan :
Belum ada pengobatan yang efektif terhadap brucellosis.
2. Penyakit Anthrax (Radang Limpa)
Anthrax
Anthrax adalah penyakit menular yang biasanya bersifat akut atau
perakut pada berbagai jenis ternak (pemamah biak, kuda, babi dan
sebagainya), yang disertai dengan demam tinggi dan disebabkan oleh
Bacillus anthracis. Biasanya ditandai dengan perubahan-perubahan
jaringan bersifat septicemi, timbulnya infiltrasi serohemorrhagi pada
jaringan subkutan dan subserosa dan dengan pembengkakan akut limpa.
Pelbagai jenis ternak liar (rusa, kelinci, babi hutan dan sebagainya)
dapat pula terserang. Faktor-faktor predisposisi daat mempermudah
timbulnya penyakit pada hewan-hewan yang mengandung spora yang bersifat
latent.
Menurut penelitian, kerentanan hewan terhada anthrax dapat dibagi dalam beberapa kelompok:
- Hewan-hewan pemamah biak terutama sai, domba kemudian berturut-turut kuda, rusa, kerbau dan pemamah biak liar lainnya
- Babi tidak begitu rantan
- Anjing, kucing, tikus dan sebagian besar bangsa burung realtif tidak rentan tetapi dapat diinfeksi secara buatan
- Hewan-hewan berdarah dingin sama sekali tidak rentan
Manusia juga rentan terhadap infeksi bakteri ini, meskipun tidak
serentan ternak pemamah biak. Anthrax merupakan salah satu zoonosis yang
penting dan sering menyebabkan kematian pada manusia.
Di
Indonesia anthrax menyebabkan banyak kematian pada ternak. Kerugian
dapat berupa kehilangan tenaga kerja di sawah dan tenaga tarik, serta
kehilangan daging dan kulit karena ternak tidak boleh dipotong.
Penyakit anthrax di Indonesia ditemukan sejak tahun 1884. Sejak itu
Pemerintah baik pada masa kolonial Belanda sampai Pemerintah RI telah
berupaya untuk menurunkan kasus-kasus penyakit bakterial ini.
Namun pada awal tahun 1990 tiba-tiba masyarakat peternakan Indonesia
dikejutkan dengan wabah anthrax yang menyerang sapi-sapi perah di
Boyolali. peristiwa ni menyebabkan jumlah ternak yang terjangkiti
penyakit anthrax mencapai 3600 ekor sapi dan 1406 ekor sapi mati.
Penyebab
Penyebab penyakit anthrax adalah bakteri Bacillus anthracis.
Faktor-faktor seperti hawa dingin, kekurangan makanan dan keletihan
dapat mempermudah timbulnya penyakit pada ternak-ternak yang mengandung
spora yang bersifat laten.
Bacillus anthracis
berbentuk batang, lurus dengan ujung siku-siku. dalam biakan membentuk
rantai panjang. dalam jaringan tubuh tidak pernah terlihat rantai
panjang, biasanya tersusun secara tunggal atau dalam rantai pendek dari 2
- 6 organisme. Dalam jaringan tubuh selalu berselubung (berkapsel).
kadang-kadang satu kapsel melingkupi Beberapa organisme.
Bakteri Bacillus anthracis bersifat gram positif, berukuran besar dan
tidak dapat bergerak. Bakteri yang sedang menghasilkan spora memiliki
garis tengah 1 mikron atau Lebih dan panjang 3 mikron atau lebih.
Basil anthrax bersifat aerob dan akan membentuk spora yang letaknya
di tengah bila cukup oksigen. Spora tersebut mampu hidup di tanah
sampai puluhan tahun. Bentuk spora lebih tahan terhadap suhu
pasteurisasi, oleh macam-macam desinfektan atau proses pembusukan
dibandingkan bentuk vegetatif B. antracis.
Pemusnahan spora
B. anthracis dapat dicapai dengan uap basah bersuhu 900C selama 45
menit, air mendidih atau uap basah bersuhu 1000C selama 10 menit, dan
panas kering pada suhu 1200C selama satu jam.
Penularan
Cara penularan Anthrax
- Spora dan tanah
- Port d’entre Anthrax
Anthrax tidak lazim ditularkan dari ternak yang satu ke ternak yang
lain secara langsung. Wabah anthrax pada umum nya ada hubungannya dengan
tanah netral atau berkapur yang alkalis yang menjadi daerah inkubator
bakteri tersebut.
Bila penderita anthrax mati kemudian diseksi
atau termakan burung-burung atau ternak pemakan bangkai, maka sporanya
akan dengan cepat terbentuk dan mencemari tanah sekitarnya. Bila terjadi
demikian, maka menjadi sulit untuk memusnahkannya. Hal tersebut menjadi
lebih sulit lagi, bila spora yang terbentuk itu tersebar angin. air
pengolahan tanah,rumput makanan ternak dan sebagainya. Di daerah iklim
panas lalat penghisap darah antara lain jenis Tabanus dapat bertindak
sebagai pemindah penyakit.
Rumput pada lahan yang tercemari
penyakit ini dapat ditempati spora. Apabila rumput ini dimakan sapi
perah maupun ternak lainnya, mereka akan tertulari.
Penyebaran penyakit ini umumnya dapat berkaitan dengan pakan yang kasar
atau ranting-ranting yang tumbuh di wilayah yang terjangkit penyakit
anthrax. bahan pakan yang kasar kadangkala menusuk membran di dalam
mulut atau saluran pencernaan dan masuklah bakteri Bacillus anthracis
tersebut melalui luka-luka itu. jadi melalui luka-luka kecil tersebut
maka terjadi infeksi spora.
Penularan dapat terjadi karena
ternak menelan tepung tulang atau pakan lain atau air yang sudah
terkontaminasi spora. Selain itu gigitan serangga pada ternak penderita
di daerah wabah yang kemudian serangga tersebut menggigit ternak lain
yang peka di daerah yang masih bebas merupakan cara penularan juga.
Pada manusia, biasanya infeksi berasal dari ternak melalui permukaan
kulit terluka, terutama pada orang-orang yang banyak berhubungan dengan
ternak.
Infeksi melalui pernafasan mungkin terjadi pada
pekerja-pekerja penyortir bulu domba (wool-sarter’s disease), sedangkan
infeksi melalui pencernaan terjadi pada orang-orang yang makan daging
asal ternak penderita anthrax.
Gejala Klinis pada Ternak
Gejala klinis dan gejala umum anthrax
Gejala-gejala umum anthrax berupa pembengkakan di daerah leher,
dada, sisi lambung, pinggang dan alat kelamin luar. Pembengkakan
tersebut berkembang dengan cepat dan meluas, bila diraba tarasa panas,
konsistensinya lembek atau keras, sedangkan kulit di daerah tersebut
normal atau terdapat luka yang mengeluarkan eksudat cair berwarna kuning
muda. Kemudian pembengkakan pada daerah leher, pada selaput lendir
rektum serta pembengkakan berupa bungkul-bungkul. Anthrax ada 3 bentuk
yaitu perakut, akut dan kronis.
Pada ternak terdapat tiga
bentuk penyakit anthrax, yaitu perakut, akut dan kronis. Kondisi perakut
mempunyai gejala penyakit yang sangat mendadak dan segera terjadi
kematian karena perdarahan di otak. Gejala tersebut berupa sesak napas,
gemetar kemudian ternak rebah. Pada beberapa kasus ternak menunjukkan
gejala kejang-kejang. Kematian dapat terjadi hanya dalam waktu 2 - 6 jam
saja.
Pada kondisi akut, mula-mula terjadi panas tubuh yang
meningkat (demam), kemudian penderita menjadi gelisah, depresi dengan
pernafasan susah. Gejala ini diikuti dengan jantung cepat dan lemah,
kejang dan penderita segera mati. Selama penyakit berlangsung, demamnya
mencapai 41,50C. Produksi susu berkurang dan susu yang dihasilkan
berwarna sangat kuning atau kemerahan. Pembengkakan pada tenggorok dan
lidah adalah salah satu gejala umum yang tampak.
Pada bentuk
perakut kematian dapat mencapai 100% sedangkan dalam bentuk yang akut
kematian dapat mencapai 90% meski telah dilakukan pengobatan.
Sedangkan anthrax bentuk kronis umumnya terdapat pada babi, tetapi
juga terdapat pada ternak lainnya. gejalanya ditandai dengan adanya
lepuh lokal terbatas pada lidah dan tenggorokan. Bangkai ternak yang
mati karena anthrax dilarang keras untuk diseksi. Bangkai tersebut cepat
membusuk karena sepsis dan sangat menggembung. Kekakuan bangkai
(rigormortis) biasanya tidak ada atau tidak sempurna. Darah yang
berwarna hitam seperti ter mungkin keluar dari lubang hidung dan dubur
yang bengkak dan lekas membusuk. Selaput lendir kebiruan, sering
terdapat penyembulan rektum disertai perdarahan.
Gejala patologis anatomis
Bangkai hewan yang mati karena anthrax dilarang keras untuk
diseksi. Bangkai hewan yang mati karena anthrax cepat membusuk karena
sepsis. Kekakuan bangkai biasanya tidak ada atau tidak sempurna. Darah
yang berwarna hitam seperti ter mungkin keluar dari lubang hidung dan
dubur yang bengkak dan ceat membusuk. Selaput lendir kebiruan, sering
terdapat penyembulan rektum disertai perdarahan.
Pencegahan, Pengobatan dan perlakuan pemotongan hewan dan daging.
Bagi daerah bebeas anthrax tindakan pencegahan didasarkan ada
peraturan yang ketat terhadap pemasukan hewan ke daerah tersebut.
Anthrax pada hewan ternak daat dicegah dengan vaksin pada umumnya hewan
ternak di daerah enzootik anthrax yang dilakukan setiap tahun disertai
cara-cara pengawasan dan pengendalian yang ketata. Oleh karena anthrax
pada hewan ternak sangat menular dan fatal, pengendalia enyakit
didasarkan pada engobatan seawal mungkin disertai cara-cara pengendalian
yang ketat. Hewan berpenyakit anthrax dilarang keras untuk dipotong.
Pencegahan
Tindakan pencegahan yang bisa diupayakan adalah (1) bagi daerah
yang masih bebas anthrax, tindakan pencegahan didasarkan pada pengaturan
yang ketat terhadap pemasukan ternak ke daerah tersebut (2) pada daerah
enzootik anthrax, anthrax pada ternak ternak dapat dicegah dengan
vaksinasi yang dilakukan setiap tahun. Pada sapi dan kerbau dosis 1 cc,
pada kambing, domba, babi dan kuda dosis sebesar 0,5 cc. Vaksin
diberikan secara injeksi subkutan.. Membuat preparat apus darah yang
diambil dari telinga pada ternak yang mati secara tiba-tiba (3) jika
ternak mati karena anthrax, maka tidak boleh dibuka bangkainya, tetapi
diambil salah satu daun telinga dan masukkan ke dalam kantong plastik
serta didinginkan jika mungkin, selanjutnya di bawa ke laboratorium
untuk didiagnosis. Bangkai langsung dibakar atau dikubur sedalam 2 meter
dan ditutup kapur, kulit dan bulu penderita dimusnahkan.
Pengobatan
Pengobatan umumnya dilakukan dengan menggunakan kombinasi antara
antiserum dan antibiotika. Antibiotika yang dipakai antara lain Procain
Penisilin G, treptomisin atau kombinasi antara Penisilin dan
Streptomisin.
3. Radang Ambing ( Mastitis)
Mastitis adalah istilah yang digunakan untuk radang yang terjadi
pada ambing, baik bersifat akut, subakut ataupun kronis, dengan kenaikan
sel di dalam air susu dan perubahan fisik maupun susunan air susu,
disertai atau tanpa adanya perubahan patologis pada kelenjar (Subronto,
2003). Akoso (1996) menyatakan bahwa pada sapi, mastitis sering terjadi
pada sapi perah dan disebabkan oleh berbagai jenis bakteri.
Sori et al (2005) menyatakan bahwa kerugian kasus mastitis antara lain :
kehilangan produksi susu, kualitas dan kuantitas susu berkurang, banyak
sapi yang diculling. Penurunan produksi susu per kuartir bisa mencapai
30% atau 15% per sapi per laktasi, sehingga menjadi permasalahan besar
dalam industri sapi perah.
Faktor Penyebab Mastitis
Resistensi atau kepekaan terhadap mastitis pada sapi, kambing atau
domba bersifat menurun. Gen- gen yang menurun akan menentukan ukuran dan
struktur puting Saat periode kering adalah saat awal bakteri penyebab
mastitis menginfeksi, karena pada saat itu terjadi hambatan aksi
fagositosis dari neutrofil pada ambing. Berbagai jenis bakteri telah
diketahui sebagai agen penyebab penyakit mastitis, antara lain
Streptococcus agalactiae, Str. Disgalactiae, Str. Uberis,
Str.zooepedermicus, Staphylococcus aureus, Escherichia coli,
Enterobacter aerogenees dan Pseudomonas eroginosa. Dilaporkan juga bahwa
yeast dan fungi juga sering menginfeksi ambing, namun biasanya
menyebabkan mastitis subklinis.
Hasil penelitian di
Ethiopia oleh Sori et al (2005) menunjukkan bahwa hasil pemeriksaan susu
dengan metode CMTdari 180 ekor sapi perah lokal Zebu dan persilangan,
prevalensi mastitis mencapai 52,78%, dengan 47 ekor (16,11%) merupakan
mastitis klinis dan 87 ekor (36,67%), merupakan mastitis subklinis.
Staphylococcus aureus merupakan salah satu penyebab utama mastitis pada
sapi perah yang menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar akibat
turunnya produksi susu. Dilaporkan oleh peneliti yang sama bahwa dari
134 isolat yang diuji, maka persentase terbesar mikroorganisme penyebab
mastitis adalah Staphylococcus aureus.
Disamping faktor
–faktor mikroorganisme yang meliputi berbagai jenis, jumlah dan
virulensinya, faktor ternak dan lingkungannya juga menentukan mudah
tidaknya terjadi radang ambing dalam suatu peternakan. Faktor
predisposisi radang ambing dilihat dari segi ternak, meliputi bentuk
ambing, misalnya ambing yang sangat menggantung, atau ambing dengan
lubang puting terlalu lebar.
Bentuk puting, ada dan tidaknya
lesi pada puting mempengaruhi kejadian mastitis. Hasil penelitian Sori
et al (2005) menunjukkan bahwa prevalensi mastitis pada puting pendulous
mencapai 77,78%, sedangkan pada puting non pendulous mencapai 50%.
Puting yang lesi memungkinkan prevalensi mastitis sebesar 84%, sedangkan
pada puting normal sebesar 47,74%. Letak kuartir juga mempengaruhi
kejadian mastitis. Kuartir kiri, belakang dan kanan, depan lebih sering
mengalami mastitis daripada kedua puting lainnya. Pada kiri belakang,
mastitis mencapai 34,3%, sedangkan kanan, depan mencapai 30,06%.
Faktor umur dan tingkat produksi susu sapi juga mempengaruhi
kejadian mastitis. Semakin tua umur sapi dan semakin tinggi produksi
susu, maka semakin mengendur pula spinchter putingnya. Puting dengan
spincter yang kendor memungkinkan sapi mudah terinfekesi oleh
mikroorganisme, karena fungsi spinchter adalah menahan infeksi
mikroorganisme. Semakin tinggi produksi susu seekor sapi betina, maka
semakin lama waktu yang diperlukan spinchter untuk menutup sempurna.
Faktor bangsa sapi juga mempengaruhi kejadian mastitis. Dilaporkan bahwa
kejadian mastitis pada sapi persilangan (Crossbreed) lebih besar
daripada sapi lokal.
Faktor lingkungan dan pengelolaan
peternakan yang banyak mempengaruhi terjadinya radang ambing meliputi
pakan, perkandangan, banyaknya sapi dalam satu kandang, ventilasi,
sanitasi kandang dan cara pemerahan susu. Dilaporkan bahwa pada
ventilasi jelek, mastitis bisa mencapai 87,5% dan pada ventilasi yang
baik mencapai 49,39%.
Gejala-gejala
Secara klinis radang ambing dapat berlangsung secara akut, subakut
dan kronik. Radang dikatakan bersifat subklinis apabila gejala-gejala
klinis radang tidak ditemukan saat pemeriksaan ambing. Pada proses
radang yang bersifat akut, tanda-tanda radang jelas ditemukan, seperti :
kebengkakan ambing, panas saat diraba, rasa sakit, warna kemerahan dan
terganggunya fungsi. Air susu berubah sifat, menjadi pecah, bercampur
endapan atau jonjot fibrin, reruntuhan sel maupun gumpalan protein.
Proses yang berlangsung secara subakut ditandai dengan gejala
sebagaimana di atas, namun derajatnya lebih ringan, ternak masih mau
makan dan suhu tubuh masih dalam batas normal. Proses berlangsung kronis
apabila infeksi dalam suatu ambing berlangsung lama, dari suatu periode
laktasi ke periode berikutnya. Proses kronis biasanya berakhir dengan
atropi kelenjar mammae.
Cara penularan
Penularan mastitis dari seekor sapi ke sapi lain dan dari quarter
terinfeksi ke quarter normal bisa melalui tangan pemerah, kain
pembersih, mesin pemerah dan lalat.
Diagnosis
Pengamatan secara klinis adanya peradangan ambing dan puting
susu, perubahan warna air susu yang dihasilkan. Uji lapang dapat
dilakukan dengan menggunakan California Mastitis Test (CMT), yaitu
dengan suatu reagen khusus, diagnosis juga bisa dilakukan dengan
Whiteside Test.
Kontrol
Untuk
mencegah infeksi baru oleh bakteri penyebab mastitis, maka perlu
beberapa upaya, antara lain (1) meminimalisasi kondisi-kondisi yang
mendukung penyebaran infeksi dari satu sapi ke sapi lain dan
kondisi-kondisi yang memudahkan kontaminasi bakteri dan penetrasi
bakteri ke saluran puting. Air susu pancaran pertama saat pemerahan
hendaknya ditampung di strip cup dan diamati terhadap ada tidaknya
mastitis. Perlu pencelupan atau diping puting dalam biosid 3000 IU (3,3
mililiter/liter air). Penggunaan lap yang berbeda disarankan untuk
setiap ekor sapi, dan pastikan lap tersebut telah dicuci dan
didesinfektan sebelum digunakan. (2) Pemberian nutrisi yang berkualitas,
sehingga meningkatkan resistensi ternak terhadap infeksi bakteri
penyebab mastitis. Suplementasi vitamin E, A dan ß-karoten serta
imbangan antara Co (Cobalt) dan Zn (Seng) perlu diupayakan untuk menekan
kejadian mastitis.
Pengobatan
Sebelum menjalankan pengobatan sebaiknya dilakukan uji
sensitifitas. Resistensi Staphylococcus aureus terhadap penicillin
disebabkan oleh adanya ß- laktamase yang akan menguraikan cincin ß-
laktam yang ditemukan pada kelompok penicillin. Pengobatan mastitis
sebaiknya menggunakan Lincomycin, Erytromycin dan Chloramphenicol.
Disinfeksi puting dengan alkohol dan infusi antibiotik intra mamaria
bisa mengatasi mastitis. Injeksi kombinasi penicillin,
dihydrostreptomycin, dexamethasone dan antihistamin dianjurkan juga.
Antibiotik akan menekan pertumbuhan bakteri penyebab mastitis, sedangkan
dexamethasone dan antihistamin akan menurunkan peradangan. Mastitis
yang disebabkan oleh Streptococcus sp masih bisa diatasi dengan
penicillin, karena streptococcus sp masih peka terhadap penicillin.
Strategi efektif untuk mencegah dan mengatasi mastitis yang
disebabkan oleh Staphilococcus aureus masih sukar dipahami. Dilaporkan
bahwa bakteri Staphylococcus sp dan Streptococcus sp yang diisolasi dari
kasus mastitis sapi telah banyak yang multi resisten terhadap beberapa
antibakterial. Penggunaan antibiotik untuk mengatasi mastitis juga telah
banyak merugikan masyarakat konsumen, karena susu mengandung residu
antibiotik bisa menimbulkan gangguan kesehatan.
Akibat
penggunaan antibiotik pada setiap kasus mastitis, yang mungkin tidak
selalu tepat, maka timbul masalah baru yaitu adanya residu antibiotika
dalam susu, alergi, resistensi serta mempengaruhi pengolahan susu.
Mastitis subklinis yang disebabkan oleh bakteri gram positif juga makin
sulit ditangani dengan antibiotik, karena bakteri ini sudah banyak yang
resisten terhadap berbagai jenis antibiotik. Diperlukan upaya pencegahan
dengan melakukan blocking tahap awal terjadinya infeksi bakteri.
Hasil penelitian Wall (2006) menunjukkan bahwa efikasi pirlymycin
sebagai antibiotik untuk mengatasi mastitis yang disebabkan
Staphylococcus aureus hanya bisa mencapai 13% dengan masa terapi dua
hari, dan mencapai 31% apabila terapi diperpanjang sampai 5 hari. Jika
diperhitungkan antara produksi susu dengan biaya terapi, ongkos bahan
bakardan adanya kandungan sel-sel somatik dalam air susu, maka masih
dibawah Break Even Point.
Selanjutnya Middleton dan Foxt
(2001) melaporkan bahwa penggunaan infus intramammaria dengan 120 ml, 5%
Povidone-Iodine (0,5% Iodine) setelah susu diperah habis pada 7 ekor
penderita mastitis akibat Staphylococcus aureus menunjukkan hasil yang
sangat memuaskan, karena 100% (7 ekor) penderita bisa memproduksi susu
kembali pada laktasi berikutnya. Sedangkan terapi mastitis dengan infus
Chlorhexidine, hanya menghasilkan 71% (5 ekor). Mean milk Weight (kg)
pada terapi Iodine lebih besar daripada terapi dengan Chlorhexidine.
Sekresi susu dari kuartir yang diberi Iodine tidak mengandung residu
pada pemeriksaan 35 hari post infusi, sedangkan pada infusi dengan
Chlorhexidine ternyata mengandung residu antibiotik.
Wall
(2006) melaporkan bahwa enzim protepolitik yang dikenal dengan
Lysotaphin, yang dihasilkan oleh Staphylococcus simulans bisa memotong
ikatan – ikatan spesifik dalam komponen dinding sel, yaitu peptidoglycan
dari Staphylococcus aureus. Efikasi Lysotaphin untuk terapi mastitis
yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus telah dievaluasi pada
beberapa jenis ternak, antara lain : tikus, kambing dan sapi. Infusi
Lysotaphin ke dalam kelenjar mammae yang terinfeksi memberikan respon
perbaikan produksi pada laktasi berikut sebesar 20%. Transgene
Lysotaphin memberikan pertahanan kuat melawan berbagai bakteri penyebab
mastitis. Susu transgenik juga mengandung agen-agen yang menghambat
pertumbuhan mikroba lain yang tidak diinginkan, sehingga susu dan produk
susu lebih panjang daya simpannya.
Dalam pengobatan
mastitis dengan menggunakan antibiotik, sehingga pengobatan bisa
efektif, diperlukan uji sensitifitas antibiotik tersebut terhadap
bakteri penyebab mastitis, terutama Staphylococcus aureus. Perlu
diketahui bahwa Staphylococcus aureus telah menunjukkan sifat resistensi
terhadap antibiotik. Berdasarkan sifat resistensinya, maka
Staphylococcus aureus dikelompokkan dalam beberapa golongan, antara lain
(1) Staphylococcus aureus yang menghasilkan enzim ß-laktamase, yang
berada di bawah kontrol plasmid, dan membuat organisme resisten terhadap
beberapa penisilin, antara lain penisilin G, ampisilin, piperasilin,
tikarsilin dan obat-obat yang sejenis (2) Staphylococcus aureus yang
resisten terhadap nafsilin, oksasilin, metisilin, yang tidak tergantung
pada produksi ß-laktamase. Gen mecA untuk resistensi terhadap nafsilin
terletak di kromosom.Resistensi ini berkaitan dengan kekurangan PBP
(Penicillin Binding Protein) (3) Staphylococcus aureus yang memiliki
kerentanan menengah terhadap vankomisin.
4. SEPTICEMIA EPIZOOTICA (SE) / Ngorok
Penyakit SE adalah penyakit menular terutama pada kerbau, sapi,
babi dan kadang-kadang pada domba, kambing dan kuda yang disebabkan oleh
bakteri Pasteurella multocida tipe tertentu. Penyakit biasanya berjalan
secara akut , dengan angka kematian yang tinggi, terutama pada
penderita yang telah menunjukkan tanda-tanda klinik yang jelas. Sesuai
dengan namanya, pada kerbau dalam stadium terminal akan menunjukkan
gejala-gejala ngorok (mendengkur), disamping adanya kebengkakan busung
pada daerahdaerah submandibula dan leher bagian bawah. Gambaran seksi
pada ternak memamah biak menunjukkan perubahan-perubahan sepsis.
Penyakit SE menyebabkan kematian, napsu makan berkurang, penurunan
berat badan serta kehilangan tenaga kerja pembantu pertanian dan
pengangkutan.
Di Indonesia, karena program vaksinasi SE
dilakukan secara rutin, maka kejadian penyakit SE di Indonesia saat ini
hanya bersifat sporadik. Namun wabah SE dalam jumlah cukup besar masih
sering ditemukan, misalnya di daerah-daerah Nusatenggara, seperti
Sumba,Timor, Sumbawa dan daerah-daerah lain. Pada umumnya wabah itu
terjadi pada permulaan musim hujan. Hal ini biasanya disebabkan karena
tidak tervaksinnya ternak-ternak di daerah itu. Keadaan ini mungkin
karena vaksin tidak tersedia atau lapangan di mana ternak merumput
secara liar sangat sulit terjangkau oleh vaksinator.
Penyebab
Penyebab penyakit SE adalah bakteri Pasteurella multocida yang
berbentuk cocobacillus yang mempunyai ukuran yang sangat halus dan
bersifat bipoler.
Secara serologik dikenal beberapa tipe
dan penyebab SE di Indonesia, antara lain adalah Pasteurella multocida
tipe 6B. Bakteri yang bersifat gram negatif ini tidak membentuk spora,
bersifat non motil dan berselubung yang lama kelamaan dapat hilang
karena penyimpanan yang terlalu lama.
Cara Penularan
Faktor-faktor predisposisi , seperti : kelelahan, kedinginan,
pengangkutan, anemia dan sebagainya mempermudah timbulnya penyakit.
Penyakit ngorok biasanya menyerang sapi umur 6 – 24 bulan dan
sering terjadi ada musim hujan yang dingin. Sapi yang belum divaksinasi
SE lebih banyak terserang. Kondisi stress dalam pengangkutan merupakan
penyebab utama terjadinya penyakit ini, sehingga penyakit ini disebut
pula shipping fever.
Diduga pintu gerbang infeksi bakteri
ke dalam tubuh penderita adalah daerah tenggorokan. Ternak sehat akan
tertular oleh ternak sakit atau pembawa melalui kontak atau melalui
makanan, minuman dan alat-alat yang tercemar. Ekskreta ternak penderita
(ludah, kemih, dan tinja) juga mengandung bakteri.
Bakteri
yang jatuh di tanah apabila keadaan serasi untuk pertumbuhan bakteri
(lembab, hangat, teduh), maka akan tahan kurang lebih satu minggu dan
dapat menulari ternak-ternak yang digembalakan di tempat tersebut.
Sapi yang menderita penyakit SE harus diisolasi pada tempat yang
terpisah. Apabila sapi itu mati ataupun dapat sembuh kembali, kandang
dan peralatan yang digunakan untuk perawatan sapi itu harus
dihapushamakan. Jangan gunakan kandang tersebut sebagai tempat sapi
sebelum lewat minimal 2 minggu.
Penyakit SE ditemukan di
sebagian besar wilayah Indonesia dan negara negara lain kecuali
Australia, Oceania, Amerika Utara, Jepang dan Afrika Selatan. Kebanyakan
wabah bersifat musiaman, terutama pada musim penghujan. Faktor-faktor
predisposisi seperti kelelahan, kedinginan, pengangkutan, anemia dan
sebaginya mempermudah timbulnya penyakit. Diduga sebagai intu gerbang
infeksi kuman ke dalam tubuh penderita adalah daerah tenggorokan. Hewan
sehat akan tertular hewan sakit atau embawa melalui kontak atau melalui
makanan, minuman dan alat0alat yang tercemar. Ada kemungkinan pula bahwa
insekta dan lintah dapat bertindak sebagai vektor.
Pada babi
SE dijumpai berbentuk gangguan pernafasan dengan gejala batuk lebih
menonjol. Penularan melalui udara yang dibatukkan oleh penderita lebih
mudah terjadi, apalagi kalau babi-babi tersebut makan dan minum dari
tempat yang sama
Gejala Klinis
Gejala penyakit SE adalah
- Bentuk busung
- Bentuk pektoral
- Kelainan pasca mati
Masa tunas SE adalah 1 – 2 hari. Penderita lesu, suhu tubuh naik dengan
cepat sampai 410C atau lebih. Gemetar, mata sayu dan berair. Selaput
lendir mata hiperemik. Napsu makan, memamah biak, gerak rumen dan usus
menurun sampai hilang, disertai konstipasi. Mungkin pula gangguan
pencernaan berupa kolik, peristaltik usus naik, dengan tinja yang
konsistensinya agak cair dan kadang-kadang disertai titik-titik darah.
Sekali-sekali ditemukan juga epistaksis, hematuria dan urtikaria yang
dapat melanjut ke nekrose kulit.
Pada SE dikenal tiga
bentuk, yaitu bentuk busung, pektoral dan intestinal. Pada bentuk busung
ditemukan adanya busung pada kepala, tenggorokan, leher bagian bawah,
gelambir dan kadang-kadang pada kaki muka. Tidak jarang pula dubur dan
alat kelamin juga mengalami busung. Derajat kematian bentuk ini tinggi,
sampai 90% dan berlangsung cepat, hanya 3 hari, kadang-kadang sampai 1
minggu. Sebelum mati, terutama pada kerbau gangguan pernafasan akan
nampak sebagai sesak nafas (dyspnoe) dan suara ngorok, merintih dengan
gigi gemeretak.
Pada bentuk pektoral, tanda-tanda
bronchopneumonia lebih menonjol, yang dimulai dengan batuk kering dan
nyeri, yang kemudian diikuti dengan keluarnya ingus hidung, pernafasan
cepat dan susah. Gejala-gejala tersebut biasanya berlangsung lebih lama,
yaitu antara 1 – 3 minggu.
Kadang-kadang penyakit dapat
berjalan kronis, ternak menjadi kurus dan sering batuk, napsu makan
terganggu, terus menerus mengeluarkan air mata. Suhu tidak berubah,
tetapi terjadi mencret degil (sulit disembuhkan) yang bercampur darah.
Perubahan Pasca Mati
Secara anatomi patologi dikenal bentunk bususng, pektoral dan
intestinal. Yang paling banyak ditemukan adalah kombinasi dua atau tiga
bentuk , meskipun bentuk busung lebih menonjol.
Pada bentuk
busung terlihat busung gelatin disertai perdarahan di bawah kulit di
bagian kepala, leher, dada dan sekali-sekali meluas sampai bagian
belakang perut. Cairan busung bersifat bening, putih kekuningan atau
kadang-kadang kemerahan. Sering kali infiltrasi cairan serum terlihat
sampai lapisan dalam otot. Busung gelatin juga ditemukan di sekitar
faring, epiglotis dan pita suara. Lidah sering kali membengkak dan
berwarna coklat kemerahan atau kebiruan dan kadang-kadang menjulur
keluar. Selaput lendir saluran pernapasan umumnya membengkak dan
kadang-kadang disertai selaput fibrin.
Kelenjar limfa
retropharingeal dan cervical membengkak. Rongga perut kadang-kadang
berisi beberapa liter cairan bening berwarna kekuningan atau kemerahan.
Tanda-tanda peradanagn akut hemorrhagik bisa ditemukan di abomasum dan
usus halkus dan sekalisekali di bagian colon. Isi rumen umumnya kering,
sedangkan isi abomasum seperti bubur. Isi usus cair berwarna kelabu
kekuningan atau kemerahan tercampur darah. Sering kali di dapati
gastroenteritis bersifat hemorrhagik. Limpa jarang mengalami perubahan.
Proses degenerasi umumnya ditemukan pada alat-alat parenkim (jantung,
hati dan buah pinggang).
Pada bentuk pektoral terlihat
pembendungan kapiler dan perdarahan di bawah kulit dan di bawah selaput
lendir. Pada pleura terlihat peradangan dengan perdarahan titik
(petechiae) dan selaput fibrin tampak pada permukaan alat-alat viseral
dalam rongga dada. Juga terlihat gejala busung berbentuk hidrothorak,
hidropericard dengan cairan yang kering., berfibrin. Paru-paru menderita
bronchopneumoni berfibrin atau fibrinonekrotik. Bagian paru-paru
mengalami hepatisasi dan kadang-kadang konsistensi agak rapuh.
Hepatisasi umumnya terdapat secara seragam dalam satu stadium, berupa
hepatisasi merah dalam keadaan akut, hepatisasi kelabu atau kuning dalam
stadium yang lebih lanjut. Bidang sayatan paru-paru beraneka warna
karena adanya pneumonia berfibrin, bagian-bagian nekrotik, sekat
interlobuler berbusung dan bagian-bagian yang normal. Bagian paru-paru
yang tidak meradang tampak hiperemik dan berbusung. Kelenjar limfa
peribronchial membengkak. Kadang-kadang ada tanda-tanda enteritis akut
sedangkan limfa umumnya normal.
Pada bentuk intestinal
biasanya mengiringi kedua bentuk tersebut di atas, terlihat
gastroenteritis kataralis hingga hemorrhagik.
Pencegahan
Pencegahan penyakit SE dilakukan dengan cara:
- Untuk daerah bebas SE, tindakan pencegahan didasarkan pada peraturan yang ketat terhadap pemasukan hewan ke daerah tersebut.
- Untuk-daerah-daerah tertular, hewan-hewan sehat divaksin dengan vaksin oil adjuvan
- Ada hewan tersangka sakit daat dipilih salah satu dari perlakuan sebagai berikut :
- Penyuntikan antiserum dengan dosis pencegahan
- Penyuntikan antibiotik
- Penyuntikan kemoterapika
- Penyuntuikan antiserum dan antibiotik atai anti serum dan kemoterapika
Untuk daerah-daerah tertular, ternak-ternak sehat divaksin
dengan vaksin oil adjuvant, sedikitnya setahun sekali dengan dosis 3 ml
secara intra muskuler. Vaksinasi dilakukan pada saat tidak ada kejadian
penyakit.
Pada ternak tersangka sakit dapat dipilih salah
satu dari perlakuan penyuntikan antiserum dengan dosis pen cegahan,
penyuntikan antibiotika, penyuntikan kemoterapetika, kombinasi
penyuntikan antiserum dengan antibiotika atau kombinasi antiserum dengan
kemoterapetika.
Dosis pencegahan antiserum untuk ternak
besar adalah 20 – 30 ml dan untuk ternak kecil adalah 10 – 20 ml.
Antiserum heterolog disuntikkan secara subkutan (SC) dan antiserum
homolog disuntikkan secara intravena (IV) atau SC. Dua minggu kemudian
bila tidak timbul penyakit disusul dengan vaksinasi.
Pengobatan
Pengobatan terhadap penyakit SE dapat dilakukan sebagai berikut (1)
Seroterapi dengan serum kebal homolog dengan dosis 100 – 150 ml untuk
ternak besar dan 50 – 100 untuk ternak kecil. Antiserum homolog
diberikan secara IV atau SC. Sedangkan antiserum heterolog diberikan
secara SC. Penyuntikan dengan antiserum ini memberikan kekebalan selama 2
sampai 3 minggu dan hanya baik bila dilakukan pada stadium awal
penyakit. Sebaiknya pemberian seroterapi dikombinasikan dengan pemberian
antibiotika atau kemoterapetika (2) Seandainya antiserum tidak
tersedia, pengobatan dapat dicoba dengan preparat antibiotika,
kemoterapetika atau gabungan kedua preparat tersebut (3) Sulphadimidine
(suphamezathine) sebanyak 1 gram tiap 15 lb bw.
Pengendalian dan pemberantasan
Secara garis besar, polanya sama dengan pemberantasan penyakit anthrax, yaitu
- dalam
keadaan penyakit sporadis, tindakan pemberantasan ditekankan pada
pengasingan hewan sakit dan penyuntikan antiserum SE pada hewan
sakit
- dalam keadaan penyakit enzootik/epizotik,
tindakan pemberantasan ditekankan pada penentuan batas-batas daerah
tertular dari daerah belum tertular
Perlakuan pemotongan hewan dan daging
Dengan pertimbangan bahwa:
- SE tidak berbahaya untuk konsumsi manusia
-
Hamir seluruh indonesia adalah daerah tertular SE, maka hewan
berpenyakit SE tidak dilarang untuk dipotong, sesuai dengan peraturan
yang berlaku
Diagnosa banding
Apabila busung tidak terlihat jelas, SE dapat dikelurkan dengan
anthrax dan rinderpest. Pada SE tidak ditemukan endarahan yang berwarna
hitam serupa seerti halnya anthrax. Selain dari gejala-gejala klinis SE
dapat dibedakan dari rinderpest, karena pada SE tidak terjadi radang
usus yang bersifat krupus difteritis dan nekrose ada jaringan limfoid.
Untuk peneguh diagnose, kuman penyebab SE harus dapat diisolasi. Perlu
diketahui bahwa tidak hanya kuman Pasteurella yang mempunyai sifat
bipoler.
5. Penyakit Pink Eye.
Pink Eye merupakan penyakit mata akut yang menular pada sapi, domba
maupun kambing, biasanya bersifat epizootik dan ditandai dengan
memerahnya conjunctiva dan kekeruhan mata.
Penyakit ini
tidak sampai menimbulkan kematian, akan tetapi dapat menyebabkan
kerugian yang cukup besar bagi peternak, karena akan menyebabkan
kebutaan ,penurunan berat badan dan biaya pengobatan yang mahal.
Etiologi
Pink Eye disebabkan oleh bakteri, virus, rikketsia maupun
chlamydia, namun yang paling sering ditemukan adalah akaibat bakteri
Maraxella bovis.
Cara Penularan
Mikrorganisme penyebab ditularkan lewat kontak antara ternak peka
dengan ternak penderita atau oleh serangga yang bisa memindahkan
mikroorganisme atau bisa juga lewat iritasi debu atau sumber-sumber lain
yang dapat menyebabkan goresan atau luka mata.
Gejala Klinis
Mata berair, kemerahan pada bagian mata yang putih dan kelopaknya,
bengkak pada kelopak mata dan cenderum menjulingkan mata untuk
menghindari sinar matahari. Selanjutnya selaput bening mata/kornea
menjadi keruh dan pembuluh darah tampak menyilanginya. Kadang-kadang
terjadi borok atau lubang pada selaput bening mata. Borok dapat pecah
dan mengakibatkan kebutaan. Mata akan sembuh dalam waktu 1 – 4 minggu,
tergantung kepada penyebabnya dan keganasan penyakitnya.
Pengobatan
Suntikan antibiotik, seperti tetracyclin atau tylosin dan penggunaan
salep mata dapat membantu kesembuhan penyakit. Menempatkan ternak pada
tempat yang teduh atau menempelkan kain di mata dapat mengurangi rasa
sakit mata akibat silaunya matahari.
Pencegahan
Memisahkan ternak yang sakit dari ternak-ternak sehat merupakan
cara terbaik untuk pencegahan terhadap pinx eye. Tidak tersedia vaksin
untuk penyakit ini.
6. Penyakit Mulut dan Kuku (PMK)
Penyakit mulut dan kuku (PMK) disebut juga
foot and mouth disease (FMD) atau
Aphtae Epizooticae
(AE). Penyakit mulut dan kuu adalah penyakit akut dan sangat menular
yang menyerang sapi, kerbau, babi, kambing, domba dan hewan berkuku
genap lainnya. Infeksi ditadai dengan pembentukan lepuh yang kemudian
berkembang menjadi erosi pada selaput lendir mulut, diantara kuku, lekuk
koroner kaki dan puting susu.
Penyebab PMK adalah virus
RNA, berdiameter 20 mu. Virus ini sangat labit (antigenetisnya mudah
berubah), virusnya tidak tahan terhadap asam dan alkalis, panas, sinar
ultraviolet, beberapa zat kimia dan desinfektan. Akan tetapi virus ini
tahan hidup ada bahan yang mengandung protein, tahan kekeringan dan
tahan dingin.
Gejala klinis ada ternak adalah lesu, suhu
tubuh dapat mencapai 41 0C, hypersalivasi (karena erosi selaput lendir
mulut dan lidah), nafsu makan berkurang, enggan berdiri (karena luka
pada interdigital), enurunan produksi susu secara mendadak, penurunan
berat badan yang terjadi serentak pada suatu kelompok hewan dan hewan
antar jenis lainnya di pekarangan yang sama. Gejala yang khas berupa
lepuh-lepuh diruang mulut terutama bagian atas indah, bibir bagian
dalam, gusi, langit-langit, dan sekali-kali pada selaput lendir mata.
Pencegahan penyakit PMK
- Laporan Dinas Peternakan kepada Dirjen eternakan dan Pemda, tentang terdaatnya kejadian pertama PMK
- Melakukan pemeriksaan dan peneguhan PMK oleh laboratorium yang berwenang
- Pernyataan dari pihan Dirjen Peternakan dan Penda tentang terdaatnya/bebasnya statu daerah terhadap PMK
- Ketentuan Umum
- Persyaratan khusus lalu lintas ternak bibit dan potong
Pengendalian penyakit PMK
- Vaksinasi
- Pada pemindahan hewan dari daerah tersangka dan tertular dan tertular ke suatu daerah perlu dilakukan vaksinasi
-
Daerah terjangkit, tertutup bagi keluar masuknya hewan. Alat-alat
angkutan atau alat lainnya dihapushamakan sebelum meinggalkan daerah.
- Virus PMK pada jerami tahan 1 bulan dan yang terbungkus protein tahan berbulan-bulan
-
Pengobatan terhada penderita PMK dengan serum dan antibiotika tidak
memperoleh hasil yang memuaskan karena hanya infeksi sekunder saja.
Pemberantasan penyakit PMK
Pembunuhan hewan yang sakit dan hewan yang berkontak dengan hewan
yang sakit adalah cara yang terbaik untuk memberantas PMK, tetapi hal
ini membutuhkan biaya yang besar, cara ini hanya daat dilakukan pada
keadaan yang khusus seerti daerah wabah.
Perlakukan pemotongan hewan dan daging
Ternak penderita atau tersangka PMK diijinkan untuk dipotong.
Ternak tersebut daat diangkut ke RPH dan dagingnya bolej
diperjualbelikan setelah dilayukan 24 jam, akan tetapi tulang,
jerohan/viscera, kaki dan kepala harus direbus terlebih dahulu, kulitnya
boleh diangkut keluar RPH dalam keadaan kering sempurna dan setelah
direbus